Oleh:
Okta Viani
Prodi Kepenyuluhan
Jurusan Dharmaduta STABN Sriwijaya
E-mail: oviani436@yahoo.com
Kerukunan beragama
merupakan suatu pondasi penting dalam menciptakan suatu keharmonisan antar
lapisan masyarakat yang berbeda-beda, dan juga untuk menciptakan semangat
kebersamaan dalam hal mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa itu sendiri. Kerukunan umat beragama adalah
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian,
saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran
agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Dalam hal
ini, seharusnya umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama
dalam memelihara kerukunan umat beragama di bidang pelayanan, pengaturan dan
pemberdayaan. Sebenarnya kerukunan antar umat beragama itu dapat diwujudkan,
yaitu dengan cara saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat
beragama, tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu, melaksanakan
ibadah sesuai agamanya, dan mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya
maupun peraturan negara atau pemerintah.
Dengan demikian, akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban
antar umat beragama, ketenteraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat
berbangsa dan bernegara. Secara garis besar, kerukunan merupakan kebutuhan
bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah perbedaan. Perbedaan yang ada
bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai
persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang
harus bersifat dinamis, humanis dan demokratis, agar dapat ditransformasikan
kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga kerukunan tersebut tidak hanya
dapat dirasakan atau dinikmati oleh kalangan atas atau orang kaya saja. Jadi,
keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih
mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang
paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha
memberikan sesuatu pandangan yang optimis.
Adapun kendala-kendala yang dihadapi masyarakat saat ini,
yang pertama yaitu rendahnya sikap toleransi antar umat beragama. Hal ini
memicu munculnya sikap kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan
masalah-masalah keimanan.
Selanjutnya faktor politik juga merupakan kendala kedua dalam hal tersebuat, karena
faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan
sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia. Muncul kekacauan
politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama. Seperti yang sedang terjadi
di negeri kita saat ini. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib
teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi banyak kepentingan
politik dengan mengatasnamakan agama. Kemudian yang ketiga yaitu sikap fanatisme. Sikap fanatisme
boleh-boleh saja kita terapkan dalam kehidupan kita, supaya kita dapat
terhindari dari kovensi agama yang sedang marak saat ini. Tetapi sikap fanatisme
yang berlebih-lebihan tidak baik karena memandang agamanya yang paling benar
sendiri dan agama lain salah. Pada hal, semua agama mengajarkan kebaikan bagi
penganutnya. Contohnya kasus ke agamaan yang terjadi di Indonesia saat ini
yaitu: pembokaran gereja milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) oleh aparat
pemerintahan kabupaten Bekasi pada tanggal 21 Maret 2013. Pembongkaran ini dilakukan
karena gereja tersebut dianggap tidak mempunyai izin bangunan, serta
mempertimbangkan tuntutan dari forum umat Islam. Sebenarnya pembongkaran gereja
tersebut tak hanya melanggar kebebasan beragama, tetapi juga memperbesar api
sektarianisme di Indonesia. Peraturan tentang pendirian rumah ibadah
mendiskriminasi minoritas agama, Keputusan menteri 1969 memberi kewenangan
pemerintah daerah untuk mewajibkan “setiap rumah ibadah hanya boleh didirikan
dengan persetujuan kepala daerah,” seperti gubernur atau bupati. Ia juga
menyebutkan “jika diperlukan, kepala daerah dapat meminta pertimbangan dari
organisasi kemasyarakatan keagamaan dan ulama” sebelum rumah ibadah diberi
izin. Aturan semacam itu seolah-olah diterapkan untuk semua agama tapi, dalam
praktiknya, secara umum dipakai untuk mendiskriminasi minoritas agama.
Warga Nasrani, minoritas agama terbesar di Indonesia, berulangkali
menghadapi kesulitan mendapatkan izin mendirikan gereja di beberapa daerah di
Indonesia. Terutama yang problematis di daerah-daerah berubah demografinya,
seperti naiknya penduduk Kristen di daerah yang secara tradisional permukiman Muslim,
termasuk di Jawa Barat, salah satunya di daerah Bekasi. Dalam beberapa kasus,
persetujuan mendirikan gereja baru didapatkan setelah 10 tahun dan paling lama
20 tahun. Pemerintah daerah Bekasi bahkan menolak mengeluarkan izin bangunan
pada HKBP Filadelfia, kendati Mahkamah Agung memutuskan bahwa semua
persyaratannya pendirian gereja sudah sah dan lengkap dan banyak sekali kaum
militan Muslim atau biasa di sebut dengan FPI memakai peraturan 2006 yang
menyatakan bahwa pembangunan rumah ibadah harus berdasarkan “keperluan nyata”
dan “komposisi jumlah penduduk” di wilayah bersangkutan. Persyaratannya,
mendapatkan persetujuan, lengkap dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengguna
rumah ibadah paling sedikit 90 orang, dukungan tanda tangan warga setempat
paling sedikit 60 orang, dan rekomendasi kepala kantor Kementerian Agama dan
Forum Kerukunan Umat Beragama(FKUB), lembaga konsultatif dari pemuka-pemuka
agama setempat untuk membenarkan aksi-aksi mereka dalam hal perusakan, dan
kadang kala pembakaran, dan sering kali mereka klaim sebagai “gereja liar.” Padahal
dalam UUD 1945 maupun UU no. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia sama-sama meberikan landasan hukum mengenai
kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menjalankan agama dan keyakinan itu. Hak
kebebasan agama bukan pemberian Negara ataupun golongan. Dengan paradigma
kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi yang berlandaskan hak asasi
manusia dimata kalangan pluralis semua menjadi relatif, tak boleh ada paksaan
dalam beragama, semua orang bebas memilih keyakinan sesuai hati nuraninya, atas
dasar HAM, tak ada pembatasan melalui hukum formal.
Tetapi pada kenyataannya, hal itu hanya tulisan semata,
banyak orang yang beranggapan bahwa agamanyalah yang paling benar sendiri dan
mengembangkan sikap fanatisme yang berlebihan. Untuk itu kita perlu menjaga
kerukunan antar umat beragama dengan berbagai upaya, di antaranya yaitu menjunjung
tinggi rasa toleransi antar umat beragama, baik sesama antar pemeluk agama yang
sama maupun yang berbeda. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal.
Misalnya, perijinan pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling
mengejek dan mengganggu umat lain, atau memberi waktu pada umat lain untuk
beribadah bila memang sudah waktunya. Demi menjaga tali kerukunan umat beragama
di Indonesia. Kemudian selalu siap membantu sesama. Dalam hal ini, kita jangan
melakukan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan
bantuan. Misalnya, disuatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam.
Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk
agama lain, jangan lantas malas membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan
hanya karena perbedaan agama. Selanjutnya yaitu menghormati orang lain.
Maksudnya adalah selalu jagalah rasa hormat pada orang lain tanpa memandang
agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan tidak
sinis. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kemudian yang terakhir yaitu Menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Bila
terjadi masalah yang menyangkut agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin
tanpa harus saling menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan
pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan
tidak merugikan pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak.
Kerukunan umat beragama di Indonesia adalah harapan semua
orang. semua menginginkan hidup aman dan tenteram. Untuk itu, diperlukan
kesadaran didalam dirinya masing-masing untuk hidup rukun dan damai. Tidak ada
lagi pertikaian antara agama karena berbeda agama atau pertikaian antara aliran
agama karena perbedaan aliran. Semua orang itu memiliki hak yang sama untuk
memeluk agama dan menganut aliran manapun. Dalam Kosambiya Sutta, Sang Buddha
juga menjelaskan tentang enam sifat yang menciptakan cinta kasih, rasa hormat,
dan menyebabkan persatuan, yaitu berbuat dengan penuh cinta kasih melalui
pikiran, ucapan, maupun perbuatan baik di depan maupun di belakang. Kemudian, berdana
dengan tujuan supaya kita tidak melekat kepada apa yang telah kita miliki
sekarang ini. Selanjutnya bersama-sama memiliki moralitas yaitu dengan
melaksanakan sila dengan baik, dan yang terakhir adalah bersama-sama memiliki
pandangan benar.
Jadi, jika kita dapat menerapkan kosambiya sutta dalam
kehidupan kita sehari-hari, maka tidak akan ada lagi permusuhan di antara umat
beragama khususnya di Indonesia sendiri yang mempunyai penduduk yang
berbeda-beda baik dari suku, ras, golongan maupun budaya dan jangan jadikan
perbedaan itu suatu hambatan bahkan ancaman yang menciptakan suatu permusuhan
tapi jadikanlah suatu hambatan itu sebagai suatu ke khasan untuk membangun
persatuan dan semangat kebersamaan. Seperti dalam Bhinikkha Tungal Ika, di
sebutkan bahwa “walaupun berbeda-beda tetap satu juga.”
Refrensi:
Bhikkhu
Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi. 2006. Majjhima
Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Hentikan Pemberontakan Gereja. http://www.hrw.org/id/news/2013/03/28/indonesia-hentikan-pembongkaran-gereja
(diakses 27 April 2014).
Kerukunan
Antar Umat Beragama di Indonesia. http://garnet.blogdetik.com/2009/12/12/kerukunan-antar-umat-beragama-di-indonesia/
(diakses 27 April 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar