Minggu, 04 Mei 2014

PENTINGNYA KERUKUNAN BERAGAMA DALAM MEMBANGUN SEMANGAT KEBERSAMAAN



Oleh: Okta Viani
Prodi Kepenyuluhan Jurusan Dharmaduta STABN Sriwijaya
E-mail: oviani436@yahoo.com
Kerukunan beragama merupakan suatu pondasi penting dalam menciptakan suatu keharmonisan antar lapisan masyarakat yang berbeda-beda, dan juga untuk menciptakan semangat kebersamaan dalam hal mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa itu sendiri. Kerukunan umat beragama adalah hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Dalam hal ini, seharusnya umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebenarnya kerukunan antar umat beragama itu dapat diwujudkan, yaitu dengan cara saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama, tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu, melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan negara atau pemerintah.

Dengan demikian, akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketenteraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara. Secara garis besar, kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat dinamis, humanis dan demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan atau dinikmati oleh kalangan atas atau orang kaya saja. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis.
Adapun kendala-kendala yang dihadapi masyarakat saat ini, yang pertama yaitu rendahnya sikap toleransi antar umat beragama. Hal ini memicu munculnya sikap kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Selanjutnya faktor politik juga merupakan kendala kedua dalam hal tersebuat, karena faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia. Muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi banyak kepentingan politik dengan mengatasnamakan agama. Kemudian yang ketiga yaitu sikap fanatisme. Sikap fanatisme boleh-boleh saja kita terapkan dalam kehidupan kita, supaya kita dapat terhindari dari kovensi agama yang sedang marak saat ini. Tetapi sikap fanatisme yang berlebih-lebihan tidak baik karena memandang agamanya yang paling benar sendiri dan agama lain salah. Pada hal, semua agama mengajarkan kebaikan bagi penganutnya. Contohnya kasus ke agamaan yang terjadi di Indonesia saat ini yaitu: pembokaran gereja milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) oleh aparat pemerintahan kabupaten Bekasi pada tanggal 21 Maret 2013. Pembongkaran ini dilakukan karena gereja tersebut dianggap tidak mempunyai izin bangunan, serta mempertimbangkan tuntutan dari forum umat Islam. Sebenarnya pembongkaran gereja tersebut tak hanya melanggar kebebasan beragama, tetapi juga memperbesar api sektarianisme di Indonesia. Peraturan tentang pendirian rumah ibadah mendiskriminasi minoritas agama, Keputusan menteri 1969 memberi kewenangan pemerintah daerah untuk mewajibkan “setiap rumah ibadah hanya boleh didirikan dengan persetujuan kepala daerah,” seperti gubernur atau bupati. Ia juga menyebutkan “jika diperlukan, kepala daerah dapat meminta pertimbangan dari organisasi kemasyarakatan keagamaan dan ulama” sebelum rumah ibadah diberi izin. Aturan semacam itu seolah-olah diterapkan untuk semua agama tapi, dalam praktiknya, secara umum dipakai untuk mendiskriminasi minoritas agama.
Warga Nasrani, minoritas agama terbesar di Indonesia, berulangkali menghadapi kesulitan mendapatkan izin mendirikan gereja di beberapa daerah di Indonesia. Terutama yang problematis di daerah-daerah berubah demografinya, seperti naiknya penduduk Kristen di daerah yang secara tradisional permukiman Muslim, termasuk di Jawa Barat, salah satunya di daerah Bekasi. Dalam beberapa kasus, persetujuan mendirikan gereja baru didapatkan setelah 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Pemerintah daerah Bekasi bahkan menolak mengeluarkan izin bangunan pada HKBP Filadelfia, kendati Mahkamah Agung memutuskan bahwa semua persyaratannya pendirian gereja sudah sah dan lengkap dan banyak sekali kaum militan Muslim atau biasa di sebut dengan FPI memakai peraturan 2006 yang menyatakan bahwa pembangunan rumah ibadah harus berdasarkan “keperluan nyata” dan “komposisi jumlah penduduk” di wilayah bersangkutan. Persyaratannya, mendapatkan persetujuan, lengkap dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang, dukungan tanda tangan warga setempat paling sedikit 60 orang, dan rekomendasi kepala kantor Kementerian Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama(FKUB), lembaga konsultatif dari pemuka-pemuka agama setempat untuk membenarkan aksi-aksi mereka dalam hal perusakan, dan kadang kala pembakaran, dan sering kali mereka klaim sebagai “gereja liar.” Padahal dalam UUD 1945  maupun UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sama-sama meberikan landasan hukum mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menjalankan agama dan keyakinan itu. Hak kebebasan agama bukan pemberian Negara ataupun golongan. Dengan paradigma kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi yang berlandaskan hak asasi manusia dimata kalangan pluralis semua menjadi relatif, tak boleh ada paksaan dalam beragama, semua orang bebas memilih keyakinan sesuai hati nuraninya, atas dasar HAM, tak ada pembatasan melalui hukum formal.
Tetapi pada kenyataannya, hal itu hanya tulisan semata, banyak orang yang beranggapan bahwa agamanyalah yang paling benar sendiri dan mengembangkan sikap fanatisme yang berlebihan. Untuk itu kita perlu menjaga kerukunan antar umat beragama dengan berbagai upaya, di antaranya yaitu menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama, baik sesama antar pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya, perijinan pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya. Demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia. Kemudian selalu siap membantu sesama. Dalam hal ini, kita jangan melakukan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, disuatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Selanjutnya yaitu menghormati orang lain. Maksudnya adalah selalu jagalah rasa hormat pada orang lain tanpa memandang agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan tidak sinis. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia. Kemudian yang terakhir yaitu Menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Bila terjadi masalah yang menyangkut agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin tanpa harus saling menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak.
Kerukunan umat beragama di Indonesia adalah harapan semua orang. semua menginginkan hidup aman dan tenteram. Untuk itu, diperlukan kesadaran didalam dirinya masing-masing untuk hidup rukun dan damai. Tidak ada lagi pertikaian antara agama karena berbeda agama atau pertikaian antara aliran agama karena perbedaan aliran. Semua orang itu memiliki hak yang sama untuk memeluk agama dan menganut aliran manapun. Dalam Kosambiya Sutta, Sang Buddha juga menjelaskan tentang enam sifat yang menciptakan cinta kasih, rasa hormat, dan menyebabkan persatuan, yaitu berbuat dengan penuh cinta kasih melalui pikiran, ucapan, maupun perbuatan baik di depan maupun di belakang. Kemudian, berdana dengan tujuan supaya kita tidak melekat kepada apa yang telah kita miliki sekarang ini. Selanjutnya bersama-sama memiliki moralitas yaitu dengan melaksanakan sila dengan baik, dan yang terakhir adalah bersama-sama memiliki pandangan benar.
Jadi, jika kita dapat menerapkan kosambiya sutta dalam kehidupan kita sehari-hari, maka tidak akan ada lagi permusuhan di antara umat beragama khususnya di Indonesia sendiri yang mempunyai penduduk yang berbeda-beda baik dari suku, ras, golongan maupun budaya dan jangan jadikan perbedaan itu suatu hambatan bahkan ancaman yang menciptakan suatu permusuhan tapi jadikanlah suatu hambatan itu sebagai suatu ke khasan untuk membangun persatuan dan semangat kebersamaan. Seperti dalam Bhinikkha Tungal Ika, di sebutkan bahwa “walaupun berbeda-beda tetap satu juga.”    
Refrensi:
Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi. 2006. Majjhima Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Hentikan Pemberontakan Gereja. http://www.hrw.org/id/news/2013/03/28/indonesia-hentikan-pembongkaran-gereja (diakses 27 April 2014).
Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia. http://garnet.blogdetik.com/2009/12/12/kerukunan-antar-umat-beragama-di-indonesia/ (diakses 27 April 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar